BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pancasila
adalah lima nilai dasar luhur yang ada dan berkembang bersama dengan bangsa
Indonesia sejak dahulu. Sejarah merupakan deretan peristiwa yang saling
berhubungan. Peristiwa-peristiwa masa lampau yang berhubungan dengan kejadian
masa sekarang dan semuanya bermuara pada masa yang akan datang. Hal ini berarti
bahwa semua aktivitas manusia pada masa lampau berkaitan dengan kehidupan masa
sekarang untuk mewujudkan masa depan yang berbeda dengan masa yang sebelumnya.
Dasar Negara
merupakan alas atau fundamen yang menjadi pijakan dan mampu memberikan kekuatan
kepada berdirinya sebuah Negara. Negara Indonesia dibangun juga berdasarkan
pada suatu landasan atau pijakan yaitu pancasila. Pancasila, dalam fungsinya
sebagai dasar Negara, merupakan sumber kaidah hukum yang mengatur Negara
Republik Indonesia, termasuk di dalamnya seluruh unsur-unsurnya yakni
pemerintah, wilayah, dan rakyat. Pancasila dalam kedudukannya merupakan dasar
pijakan penyelenggaraan Negara dan seluruh kehidupan Negara Replubik Indonesia.
Pancasila
sebagai dasar Negara mempunyai arti yaitu mengatur penyelenggaraan
pemerintahan. Konsekuensinya adalah Pancasila merupakan sumber dari segala
sumber hukum. Hal ini menempatkan pancasila sebagai dasar Negara yang berarti
melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam semua peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Oleh karena itu, sudah seharusnya semua peraturan
perundang-undangan di Negara Republik Indonesia bersumber pada Pancasila.
B.
Rumusan Masalah
Dalam makalah
ini penulis mengidentifikasiakan rumusan masalah sebagai berikut:
a.
Pancasila Pada Era Pra Kemerdekaan
b.
Pancasila Pada Era Kemerdekaan
c.
Pancasila Pada Era Orde Lama
d.
Pancasila Pada Era Orde Baru
e.
Pancasila Pada Era Reformasi
C.
Tujuan Masalah
a.
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pancasila
b.
Menjelaskan Pancasila Era Pra kemerdekaan
c.
Menjelaskan Pancasila Era Kemerdekaan
d.
Menjelaskan Pancasila Era Orde Lama
e.
Menjelaskan
Pancasila Era Orde Baru
f.
Menjelaskan Pancasila Era Reformasi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pancasila Era Pra Kemerdekaan
1.
Zaman
Pra Sejarah
Ahli
geologi menyatakan bahwa kepulauan Indonesia terjadi dalam pertengahan zaman
tersier, kira-kira 60 juta tahun silam. Baru pada zaman quarter yang dimulai
sekitar 600.000 tahun yang silam Indonesia didiami oleh manusia berdasarkan
fosil-fosil yang ditemukan. Berdasarkan artefak yang mereka tinggalkan, mereka
mengalami hidup tiga zaman yaitu: Paleolitikum, Mesolitikum, Neolitikum.
Pada masa prasejarah tersebut, sebenarnya inti dari kehidupan mereka adalah nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Yaitu:
Pada masa prasejarah tersebut, sebenarnya inti dari kehidupan mereka adalah nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Yaitu:
1.
Nilai
Religious
Adanya sistem penguburan mayat diketahui dari ditemukannya kuburan
serta kerangka di dalamnya. Selain itu juga ditemukan alat-alat yang digunakan
untuk aktivitas religi seperti upacara mendatangkan hujan, dll. Adanya
keyakinan terhadap pemujaan roh leluhur juga dan penempatan menhir (kubur batu)
di tempat-tempat yang tinggi yang dianggap sebagai tempat roh leluhur, tempat
yang penuh keajaiban dan sebagai batas antara dunia manusia dan roh leluhur.
2.
Nilai
Perikemanusiaan
Tampak dalam perilaku kehidupan saat itu misalnya penghargaan terhadap
hakikat kemanusiaan yang ditandai dengan penghargaan yang tinggi terhadap
manusia meskipun sudah meninggal. Hal ini menggambarkan perilaku berbuat baik
terhadap sesama manusia, yang pada hakekatnya merupakan wujud kesadaran akan
nilai kemanusiaan. Mereka juga sudah mengenal sistem barter antara kelompok
pedalaman dengan pantai dan persebaran kapak. Selain itu mereka juga menjalin
hubungan dengan bangsa-bangsa lain. Hal ini menandakan bahwa mereka sudah bisa
menjalin hubungan sosial.
3.
Nilai
Kesatuan
Nilai kesatuan pada
zaman pra sejarah adalah dengan adanya kesamaan bahasa Indonesia sebagai rumpun
bahasa Austronesia, sehingga muncul kesamaan dalam kosa kata dan kebudayaan.
Hal ini sesuai dengan teori perbandingan bahasa menurut H.Kern dan benda-benda
kebudayaan Pra Sejarah Von Heine Gildern.
Kecakapan berlayar karena menguasai pengetahuan
tentang laut, musim, perahu, dan astronomi, menyebabkan adanya kesamaan
karakteristik kebudayaan Indonesia. Oleh karena itu tidak mengherankan jika
lautan juga merupakan tempat tinggal selain daratan. Itulah sebabnya mereka
menyebut negerinya dengan istilah Tanah Air.
4.
Nilai
Musyawarah
Kehidupan bercocok tanam dilakukan secara bersama-sama yang di dalamnya telah memiliki aturan
untuk kepentingan bercocok tanam, sehingga memungkin-kan tumbuh kembangnya
adat sosial. Kehidupan mereka berkelompok dalam desa-desa, klan, marga atau
suku yang dipimpin oleh seorang kepala suku yang dipilih secara musyawarah berdasarkan
Primus Inter Pares (yang pertama diantara yang sama).
5.
Nilai
Keadilan Sosial
Dikenalnya pola kehidupan bercocok tanam secara gotong-royong berarti
masyarakat pada saat itu telah berhasil meninggalkan pola hidup foodgathering
menuju ke pola hidup foodproducing. Hal ini menunjukkan bahwa pada saat itu
upaya kearah perwujudan kesejahteraan dan kemakmuran bersama sudah ada.
2.
Kerajaan
Kutai
Indonesia memasuki zaman sejarah pada tahun 400 M, dengan ditemukannya
prasasti yang berupa 7 yupa (tiang batu). Diyakini prasasti tersebut berasal
dari kerajaan yang bernama Kutai. Berdasarkan prasasti tersebut dapat diketahui
bahwa raja Mulawarman keturunan dari raja Aswawarman keturunan dari Kudungga.
Raja Mulawarman mengadakan kenduri dan memberikan sedekah kepada Brahmana dan
para Brahmana membangun Yupa itu sebagai tanda terima kasih kepada Raja yang
dermawan (Ismaun, 1975: 25). Masyarakat kutai yang membuka zaman sejarah Indonesia pertama kalinya
ini menampilkan nilai-nilai politik, dan ketuhanan dalam bentuk kerajaan,
kenduri, serta sedekah kepada para brahmana.
3.
Kerajaan
Sriwijaya
Pada abad ke VII munculah suatu kerajaan di Sumatra yaitu kerajaan
Wijaya, di bawah kekuasaaan bangsa Syailendra. Hal ini termuat dalam prasasti kedudukan
Bukit di kaki bukit Sguntang dekat Palembang yang bertarikh 605 caka atau 683
M. yang ditulis dalam bahasa melayu kuno huruf Pallawa. Kerajaan itu adalah
kerajaan Maritim yang mengandalkan kekuatan lautnya, kunci-kunci lalu-lintas
laut di sebelah barat dikuasainya seperti selat Sunda (686), kemudian selat
Malaka (775). Pada zaman itu kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan besar yang
cukup disegani di kawasan Asia Selatan. Perdagangan dilakukan dengan
mempersatukan pedagang pengrajin dan pegawai raja yang disebut Tuhan An
Vatakvurah sebagai pengawas dan pengumpul semacam koperasi sehingga rakyat
mudah untuk memasarkan dagangannya (Kenent R Hall, 1989: 75-77).
Demikian pula dalam sistem
pemerintahaannya terdapat pegawai pengurus pajak, harta benda, kerajaan,
rokhaniawan yang menjadi pengawas teknis pembangunan gedung-gedung dan
patung-patung suci sehingga pada saat itu kerajaan dalam menjalankan sistem
negaranya tidak dapat dilepaskan dengan nilai Ketuhanan.
Agama dan kebudayaan dikembangkan dengan mendirikan suatu universitas
agama Budha, yang sangat terkenal di negara lain di Asia. Banyak musafir dari
negara lain misalnya dari Cina belajar terlebih dahulu di universitas tersebut
terutama tentang agama Budha dan bahasa Sansekerta sebelum melanjutkan studinya
ke India, bahkan banyak guru-guru besar tamu dari India yang mengajar di
Sriwijaya misalnya Dharmakitri. Cita-cita tentang kesejahteraan bersama dalam
suatu negara adalah tercemin pada kerajaan Sriwijaya tersebut yaitu berbunyi
‘marvuat vanua criwijaya dhayatra subhiksa’ (suatu cita-cita negara yang adil
dan makmur).
4.
Zaman
Kerajaan-kerajaan Sebelum Majapahit.
Sebelum kerajaan Majapahit muncul sebagai suatu kerajaan yang
memancangkan nilai-nilai nasionalisme, telah muncul kerajaan-kerajaan di Jawa
Tengah dan Jawa Timur secara silih berganti. Kerajaan Kalingga pada abad ke
VII, Sanjaya pada abad ke VIII yang ikut membantu membangun candi Kalasan untuk
Dewa Tara dan sebuah wihara untuk pendeta Budha didirikan di Jawa Tengah
bersama dengan dinasti Syailendra (abad ke VII dan IX). Refleksi puncak dari
Jawa Tengah dalam periode-periode kerajaan-kerajaan tersebut adalah dibangunnya
candi Borobudur (candi agama Budha pada abad ke IX), dan candi Prambanan (candi
agama Hindhu pada abad ke X). Selain kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah tersebut
di Jawa Timur muncullah kerajaan-kerajaan Isana (pada abad ke IX), Darmawangsa
(abad ke X) demikian juga kerajaan Airlanga pada abad ke XI. Raja Airlangga
membuat bangunan keagamaan dan asrama, dan raja ini memiliki sikap toleransi
dalam beragama. Agama yang diakui oleh kerajaan adalah agama Budha, agama Wisnu
dan agama Syiwa yang hidup berdampingan secara damai. Menurut prasasti Kelagen,
Raja Airlangga telah mengadakan hubungan dagang dan bekerja sama dengan
Benggala, Chola dan Champa hal ini menunjukkan nilai-nilai kemanusiaan.
Demikian pula Airlangga mengalami penggemblengan lahir dan batin di hutan dan
tahun 1019 para pengikutnya, rakyat dan para Brahmana bermusyawarah dan
memutuskan untuk memohon Airlangga bersedia menjadi raja, meneruskan tradisi
istana, sebagai nilai-nilai sila keempat. Demikian pula menurut prasasti
Kelagen, pada tahun 1037, raja Airlangga memerintahkan untuk membuat tanggul
dan waduk demi kesejahteraan rakyat yang merupakan nilai-nilai sila kelima (Toybin, 1997: 28,29).
Wilayah Kediri Jawa Timur berdiri pula kerajaan Singasari (pada abad ke
XIII), yang kemudian sangat erat hubungannya dengan berdirinya kerajaan
Majapahit.
5.
Kerajaan
Majapahit
Tahun 1293 berdirilah kerajaan Majapahit yang mencapai zaman
keemasannya pada pemerintahan raja Hayam Wuruk dengan mahapatih Gajah Mada yang
dibantu oleh Laksamana Nala dalam memimpin armadanya untuk menguasai nusantara.
Empu Prapanca menulis Negarakertagama (1365). Dalam kitab tersebut
telah terdapat istilah “Pancasila”. Empu Tantular mengarang buku Sutasoma, dan
di dalam buku itulah kita jumpai seloka persatuan nasional yaitu Bhinneka
Tunggal Ika yang bunyi lengkapnya Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua,
artinya walaupun berbeda tapi tetap satu jua.
Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Mahapatih Gajah Mada dalam sidang
Ratu dan Menteri-menteri di paseban keprabuan Majapahit pada tahun 1331, yang
berisi cita-cita mempersatukan seluruh nusantara raya sebagai berikut : ‘saya
baru akan berhenti berpuasa makan pelapa jikalau seluruh nusantara bertakluk di
bawah kekuasaan negara, jikalau Gurun, Seram, Tanjung, Haru, Pahang, Dempo,
Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik telah dikalahkan (Yamin, 1960: 60).
Hubungannya dengan negara lain raja Hayam Wuruk mengadakan hubungan
bertetangga dengan baik dengan kerajaan Tiongkok, Ayodya, Champa, dan Kamboja.
Majapahit menjulang dalam arena sejarah kebangsaan Indonesia dan banyak
meninggalkan nilai-nilai yang diangkat dalam nasionalisme negara kebangsaan
Indonesia 17Agustus 1945.
6.
Zaman
Penjajahan
Majapahit runtuh pada permulaan abad XVI kemudian berkembanglah agama islam dengan pesatnya di Indonesia. Bersama dengan
itu berkembang pulalah Kerajaan-kerajaan Islam seperti kerajaan Demak, dan
mulailah berdatangan orang-orang eropa di nusantara, antara lain orang
Portugisa portgis yang kemudian di ikuti oleh orang-orang Spanyol yang ingin
mencari pusat tanaman rempah-rempah.
Bangsa asing yang masuk ke Indonesia yang awalnya berdagang adalah
orang-orang bangsa portugis. Namun lama kelamaan bangsa portugis mulai
menunjukkan peranannya dalam bidang perdagangan yang meningkat menjadi praktek
penjajahan misalnya Malaka sejak tahun 1511 dikuasai oleh Portugis.
Akhir abad ke XVI Bangsa Belanda datang juga ke Indonesia untuk menghindarkan
persaingan diantara mereka sendiri (Belanda) kemudian mereka mendirikan suatu
perkumpulan dagang yang bernama V.O.C.,(Verenigde Oost Indische Compagnie),
yang dikalangan rakyat dikenal dengan istilah ‘Kompeni’.
Mataram dibawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) berupaya mengadakan perlawanan dan penyerangan ke Bataviapada tahun 1628 dan 1629, walaupun tidak berhasil meruntuhkan namun Gubernur Jendral J .P. Coen tewas dalam serangan Sultan Agung yang ke dua itu. Saat sultan Agung mangkat maka mataram menjadi bagian kekuasaan kompeni. Dimakasar yang memiliki kedudukan yang sangat vital berhsil juga dikuasai oleh kompeni tahun (1667) dan timbulah perlawanan dari rakyat makasar dibawah Hasanudin. Menyusul pula wilayah banten (Sultan Agung Tirtoyoso) dapat di tundukkan pula oleh kompeni pada tahun 1684. Perlawanan Trunojoyo, Untung Suropati di Jawa Timur pada akhir abad ke XVII, nampaknya tidak mampu meruntuhkan kekuasaan kompeni pada saat itu. Demikian Belanda pada awalnya menguasai daerah-daerah yang strategis yang kaya akan hasil rempah-rempah pada abad ke XVII dan nampaknya semakin memperkuat kedudukannya dengan didukung oleh kekuatan militer.
Mataram dibawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) berupaya mengadakan perlawanan dan penyerangan ke Bataviapada tahun 1628 dan 1629, walaupun tidak berhasil meruntuhkan namun Gubernur Jendral J .P. Coen tewas dalam serangan Sultan Agung yang ke dua itu. Saat sultan Agung mangkat maka mataram menjadi bagian kekuasaan kompeni. Dimakasar yang memiliki kedudukan yang sangat vital berhsil juga dikuasai oleh kompeni tahun (1667) dan timbulah perlawanan dari rakyat makasar dibawah Hasanudin. Menyusul pula wilayah banten (Sultan Agung Tirtoyoso) dapat di tundukkan pula oleh kompeni pada tahun 1684. Perlawanan Trunojoyo, Untung Suropati di Jawa Timur pada akhir abad ke XVII, nampaknya tidak mampu meruntuhkan kekuasaan kompeni pada saat itu. Demikian Belanda pada awalnya menguasai daerah-daerah yang strategis yang kaya akan hasil rempah-rempah pada abad ke XVII dan nampaknya semakin memperkuat kedudukannya dengan didukung oleh kekuatan militer.
Sejarah mencatat bahwa
Belanda berusaha dengan keras untuk memperkuat dan mengintensifkan kekuasaan di
Indonesia. Melihat praktek-praktek penjajahan Belanda tersebut maka meledaklah
perlawanan rakyat di berbagai wilayah nusantara, antara lain : Pattimura di
maluku (1817), Baharudin di Palembang (1819), Imam Bonjol di Minangkabau
(1821-1837). Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah (1825-1830), Jlentik, Polim,
Teuku Tjik di Tiro, Teuku Umar dalam perang Aceh (1860), anak Agung Made dalam
perang Lombok (1894-1895), Sisingamangaraja di tanah Batak (1900) dan masih
banyak perlawanan lainnya.
Penghisapan mulai memuncak ketika Belanda mulai menerapkan sistem
monopoli melalui tanam paksa (1830-1870) dengan memaksakan beban kewajiban
terhadap rakyat yang tidak berdosa
(Kaelan, 2014: 26).
7.
Zaman
Kebangkitan Nasional
Abad XX Di punggung Politik Internasional terjadilah pergolakan
kebangkitan dunia Timur dengan suatu kesadaran akan kekuatan sendiri. Partai
Kongres di india dengan tokoh Tilak dan Gandhi, adapun di indonesia bergolaklah
kebangkitan akan kesadaran berbangsa yaitu kebangkitan nasional (1908)
dipelopori oleh dr. Wahidin Sudirohusodo dengan Budi Utomonya. Gerakan ini lah
yang merupakan awal gerakan nasional untuk mewujudkan suatu bangsa yang
memiliki kehormatan akan kemerdekaan dan kekuasaannya sendiri.
Budi Utomo yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 inilah yang
merupakan pergerakan nasional, sehingga segera setelah itu muncullah
organisasi-organisasi pergerakan lainnya. Organisasi-organisasi pergerakan
nasional itu antara lain : Sarakat Dagang Islam (SDI) (1909), yang kemudian
dengan cepat mengubah bentuknya menjadi gerakan politik dengan mengganti
namanya menjadi Sarikat Islam (SI) tahun (1911) di bawah H.O.S. Cokroaminoto.
Berikutnya muncullah Indische Partij (1913), yang di pimpin oleh tiga serangkai
yaitu: Douwes Dekker,Ciptomangunkusumo, Suwardi Suryaningrat (yang kemudian
lebih di kenal dengan nama Ki Hajar Dewantoro), partai ini tidak menunjukkan
keradikalannya, sehingga tidak dapat berumur panjang karena pemimpinnya di
buang di luar negeri (1913).
Dalam situasi yang
menggoncangkan itu muncullah Partai Nasional Indonesia (PNI) (1927) yang
dipelopori oleh Soekarno, Cipto mangunkusumo, Sartono dan tokoh lainnya.
Perjuangan Nasional Indonesia di titik beratkan pada kesatuan nasional dengan
tujuan Indonesia Merdeka. Tujuan ttu kemudian diikuti dengan tampilnya golongan
pemuda yang tokoh-tokohnya antara lain : M. Yamin, Wongsonegoro, Kuncoro Purbo
Pranoto, Serta tokoh-tokoh muda lainnya. Perjuangan rintisan kesatuan Nasional
kemudian diikuti dengan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, satu
bahasa, satu bangsa dan satu tanah air Indonesia. Lagu Indonesia Raya pada saat
ini pertama kali dikumandangkan dan sekaligus sebagai penggerak kebangkitan
kesadaran berbangsa.
Pendidikan Nasional Indonesia dan para pengikutnya dibubarkan, dan
diganti bentuknya dengan partai Indonesia dengan singkatan Partindo (1931).
Kemudian golongan Demokrat antara lai : Moh. Hatta, dan St. Syahrir mendirikan
PNI baru yaitu Pendidikan Nasional Indonesia (1933), dengan semboyan
Kemerdekaan Indonesia harus dicapai dengan kekuatan sendiri (Toyyibin, 1997: 35)
8.
Zaman
Sebelum Proklamasi
Tanggal 29 Mei 1945 dibentuk
Suatu badan yang bertugas untuk menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan
Indonesia yaitu Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
atau Dokuriti Zyunbi Tioosakai. Pada hari itu juga di umumkan nama-nama Ketua,
Wakil ketua serta para anggota sebagai berikut :
Ketua (Kaicoo) : Dr. K.R.T. Radjiman
Wediodiningrat
Ketua Muda : Itibangase ( Seorang anggota luar biasa)
Ketua Muda : Itibangase ( Seorang anggota luar biasa)
(Fuku Kaicoo Tokubetsu Iin )
Ketua Muda : R.P. Soeroso ( merangkap kepala)
(Fuku Kaicoo atau Zimukyoku Kucoo ).
Ketua Muda : R.P. Soeroso ( merangkap kepala)
(Fuku Kaicoo atau Zimukyoku Kucoo ).
Nama para anggota ini menurut nomor tempat
duduknya dalam sidang adalah sebagai berikut :
1.
Ir. Soekarno
2.
Mr. Muh Yamin
3.
Dr. R. Kusuma Atmaja
4.
R.
AbdulrahimPratalykrama
5.
R. Aris
6.
K. H.
Dewantara dan masih banyak lagi yang lainnya
Sidang BPUPKI Pertama dilakukan untuk menentukan dasar Negara
Indonesia. Sidang berlangsung selama empat hari, berturut-turut yang tampil
untuk berpidato menyampaikan usulannya adalah sebagai berikut.
1.
Mr.
Muh Yamin (29 Mei 1945)
Dalam
pidatonya 29 Mei 1945 Muh. Yamin mengusulkan calon rumusan dasar negara
Indonesia sebagai berikut :
I.
Peri
Kebangsaan
II.
Peri
Kemanusiaan,
III.
Peri
Ketuhanan,
IV.
Peri
Kerakyatan (a.
Permusyawaratan, b. Perwakilan, c. Kebijaksanaan )
V.
Kesejahteraan
Rakyat (Keadilan Sosial).
2.
Prof.Dr.
Soepomo (31 Mei 1945)
Prof. Dr. Soepomo
Mengemukakan teori-teori Sebagai berikut:
1
Teori negara
perseorangan (individualis).
2
Paham negara
kelas (Class Theory)
3
Paham negara
Integralistik, yang diajarkan oleh Spinoza, adam muler Hegel (abad 18 dan 19)
Selanjutnya dalam kaitannya dengan dasar filsafat negara Indonesia
Soepomo mengusulkan hal-hal mengenai: kesatuan, kekeluargaan, keseimbangan
lahir dan batin, musyawarah, keadilan rakyat.
3.
Ir.
Soekarno (1 Juni 1945)
Usulan dasar negara dalam sidang BPUPKI Pertama berikutnya adalah
pidato dari Ir. Soekarno yang disampaikan lisan tanpa teks, Beliau mengusulkan
dasar negara yang terdiri atas lima prinsip yang rumusannya adalah sbb :
1.
Nasionalisme
(kebangsaan Indonesia)
2.
Internasionalisme
(peri Kemanusiaan)
3.
Mufakat
(Demokrasi)
4.
Kesejahteraan
sosial
5.
Ketuhanan
Yang Maha Esa (Ketuhanan Yang Berkebudayaan)
Beliau juga mengusulkan bahwa pancasila adalah sebagai dasar filsafat
negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Soekarno mengemukakan dasar-dasar
sebagai berikut: kebangsaan indonesia, internasionalisme atau peri kemanusiaan ,
mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang berkebudayaan,
lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan
petunjuk seorang teman kita ahli bahasa namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas atau
dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal
dan abadi. Oleh karena itu, pada tanggal 1 Juni 1945 ditetapkan sebagai hari lahir
Pancasila.
B.
Pancasila Era
Kemerdekaan
Era
kemerdekaan dimulai dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945. Isi Proklamasi
Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 sesuai dengan semangat yang tertuang dalam
Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Piagam ini berisi garis-garis
pemberontakan melawan imperialisme-kapitalisme dan fasisme serta memuat dasar
pembentukan Negara Republik Indonesia. Piagam Jakarta yang lebih tua dari
Piagam Perjanjian San Francisco (26 Juni 1945) dan Kapitulasi Tokyo (15 Agustus
1945) itu ialah sumber berdaulat yang memancarkan Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia (Yamin, 1954: 16). Piagam Jakarta ini kemudian disahkan oleh
sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 menjadi pembentukan UUD 1945, setelah
terlebih dahulu dihapus 7 (tujuh) kata dari kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya”, diubah menjadi Ketuhanan
Yang Maha Esa. Secara ilmiah proklamasi kemerdekaan dapat
mengandung pengertian sebagai berikut:
1.
Sudut
ilmu hukum proklamasi merupakan saat tidak berlakunya tertib hukum kolonial,
dan saat mulai berlakunya tertib hukum nasional.
2.
Secara
politis ideologi proklamasi mengandung arti bahwa bangsa Indonesia terbatas
nasib sendiri dalam suatu Negara proklamasi republik Indonesia.
Tanggal 18 Agustus pada rapat PPKI, ditetapkan
UUD 1945 dan Presiden serta Wakilnya. Sesudah itu dimulailah pergolakan politik
dalam negeri seperti berikut ini:
1.
Pembentukan
Negara Republik Indonesia Serikat (RIS)
Hasil dari konferensi meja bundar (KMB) ditanda
tangani suatu persetujuan (mantel resolusi) Oleh Ratu Belanda Yuliana dan wakil
pemerintah RI di Kota Den Hag pada tanggal 27 Desember 1949, maka berlaku
pulalah secara otomatis anak-anak persetujuan hasil KMB lainnya dengan
konstitusi RIS, antara lain :
a) Konstitusi RIS menentukan bentuk negara serikat
(federalis) yaitu 16 Negara pasal (1 dan 2)
b) Konstitusi RIS menentukan sifat pemerintah
berdasarkan asas demokrasi liberal dimana mentri-mentri bertanggung jawab atas
seluruh kebijaksanaan pemerintah terhadap parlemen (pasal 118 ayat 2)
c) Mukadiamah RIS telah menghapuskan sama sekali
jiwa dan semangat maupun isi pembukaan UUD 1945, proklamasi kemerdekaan sebagai
naskah Proklamasi yang terinci.
Sebelum
persetujuan KMB, bangsa Indonesia telah memiliki kedaulatan, oleh karena itu
persetujuan 27 Desember 1949 tersebut bukannya penyerahan kedaulatan melainkan
“pemulihan kedaulatan” atau “pengakuan kedaulatan” (Kaelan, 2014: 43)
2.
Terbentuknya
Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1950
Berdirinya
negara RIS dalam Sejarah ketatanegaraan Indonesia adalah sebagai suatu taktik
secara politis untuk tetap konsisten terhadap deklarasi Proklamasi yang terkandung
dalam pembukaan UUD 1945 yaitu
negara persatuan dan kesatuan sebagaimana termuat dalam alinea IV, bahwa
pemerintah negara…….” yang melindungi segenap bangsa Indoneia dan seluruh
tumpah darah negara Indonesia …..” yang berdasarkan kepada UUD 1945 dan
Pancasila. Maka terjadilah gerakan unitaristis secara spontan dan rakyat untuk
membentuk negara kesatuan yaitu menggabungkan diri dengan Negara Proklamasi RI
yang berpusat di Yogyakarta, walaupun pada saat itu Negara RI yang berpusat di
Yogyakarta itu hanya berstatus sebagai negara bagian RIS saja.
Pada
suatu ketika negara bagian dalam RIS tinggalah 3 buah negara bagian saja yaitu
:
1. Negara Bagian RI Proklamasi
2. Negara Indonesia Timur (NIT)
3. Negara Sumatera Timur (NST)
Akhirnya
berdasarkan persetujuan RIS dengan negara RI tanggal 19 Mei 1950, maka seluruh
negara bersatu dalam negara kesatuan, dengan Konstitusi Sementara yang berlaku
sejak 17 Agustus 1950.
UUDS
1950 walaupun telah merupakan tonggak untuk menuju cita-cita Proklamasi,
Pancasila dan UUD 1945, namun kenyataannya masih berorientasi kepada Pemerintah
yang berasas Demokrasi Liberal sehingga isi maupun jiwanya merupakan
penyimpangan terhadap Pancasila. Hal ini disebabkan oleh hal-hal sebagai
berikut :
a.
Sistem
multi partai dan kabinet Parlementer berakibat silih bergantinya kabinet yang
rata-rata hanya berumur 6 atau 8 tahun. Hal ini berakibat tidak mempunyai
Pemerintah yang menyusun program serta tidak mampu menyalurkan dinamika
Masyarakat ke arah pembangunan, bahkan menimbulkan pertentangan-pertentangan, gangguan-gangguan keamanan serta penyelewengan-penyelewengan dalam masyarakat.
b.
Secara
Ideologis Mukadimah Konstitusi Sementara 1950, tidak berhasil mendekati
perumusan otentik Pembukaan UUD 1945, yang dikenal sebagai Declaration of Independence
bangsa Indonesia. Demikian pula perumusan Pancasila dasar negara juga terjadi
penyimpangan. Namun bagaimanapun juga RIS yang berdasarkan Pancasila dan UUD
1945 dari negara Republik Indonesia Serikat.
Tahun 1950-an muncul inisiatif dari sejumlah tokoh yang hendak melakukan
interpretasi ulang terhadap Pancasila. Saat itu muncul perbedaan perspektif
yang dikelompokkan dalam dua kubu. Pertama, beberapa tokoh berusaha menempatkan
Pancasila lebih dari sekedar kompromi politik atau kontrak sosial. Mereka
memandang Pancasila tidak hanya kompromi politik melainkan sebuah filsafat
sosial atau weltanschauung bangsa. Kedua, mereka yang menempatkan
Pancasila sebagai sebuah kompromi politik. Dasar argumentasinya adalah fakta
yang muncul dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI. Pancasila pada saat itu
benar-benar merupakan kompromi politik di antara golongan nasionalis netral
agama (Sidik Djojosukarto dan Sutan takdir Alisyahbana dkk) dan nasionalis
Islam (Hamka, Syaifuddin Zuhri sampai Muhammad Natsir dkk) mengenai dasar
negara. Sehingga,
terjadi pergolakan politik yang tidak berujung. Hal inilah yang mendorong
Presiden Soekarno megeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959.
C. Pancasila
Era Orde Lama
Era orde
lama ditandai dengan dikeluarkannya dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959.
Terdapat dua pandangan besar terhadap Dasar Negara yang berpengaruh terhadap
munculnya Dekrit Presiden. Pandangan tersebut yaitu mereka yang memenuhi
“anjuran” Presiden/ Pemerintah untuk “kembali ke Undang-Undang Dasar 1945”
dengan Pancasila sebagaimana dirumuskan dalam Piagam Jakarta sebagai Dasar
Negara. Sedangkan pihak lainnya menyetujui ‘kembali ke Undang-Undang Dasar
1945”, tanpa cadangan, artinya dengan Pancasila seperti yang dirumuskan dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar yang disahkan PPKI tanggal 18 Agustus 1945
sebagai Dasar Negara. Namun, kedua usulan tersebut tidak mencapai kuorum
keputusan sidang konstituante (Anshari, 1981: 99). Majelis ini menemui jalan
buntu pada bulan Juni 1959. Kejadian ini menyebabkan Presiden Soekarno turun
tangan dengan sebuah Dekrit Presiden yang disetujui oleh kabinet tanggal 3 Juli
1959, yang kemudian dirumuskan di Istana Bogor pada tanggal 4 Juli 1959 dan
diumumkan secara resmi oleh presiden pada tanggal 5 Juli 1959 pukul 17.00 di
depan Istana Merdeka (Anshari, 1981: 99-100). Dekrit Presiden tersebut berisi:
1. Pembubaran konstituante;
2. Undang-Undang Dasar 1945
kembali berlaku; dan
3. Pembentukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat
Masa
itu berlaku demokrasi terpimpin. Setelah menetapkan berlakunya kembali UUD
1945, Presiden Soekarno meletakkan dasar kepemimpinannya. Yang dinamakan
demokrasi terimpin yaitu demokrasi khas Indonesia yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Demokrasi terpimpin dalam
prakteknya tidak sesuai dengan makna yang terkandung di dalamnya
dan bahkan terkenal menyimpang. Dimana demokrasi dipimpin oleh
kepentingan-kepentingan tertetnu. Pada masa pemerintahan Orde Lama, kehidupan
politik dan pemerintah sering terjadi penyimpangan yang dilakukan Presiden dan
juga MPRS yang bertentangan dengan pancasila dan UUD 1945. Artinya pelaksanaan
UUD 1945 pada masa itu belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini
terjadi karena penyelenggaraan pemerintahan terpusat pada kekuasaan seorang
presiden dan lemahnya control yang seharusnya dilakukan DPR terhadap
kebijakan-kebijakan. Selain itu, muncul pertentangan politik dan konflik
lainnya yang berkepanjangan sehingga situasi politik, keamanaan dan kehidupan
ekonomi makin memburuk puncak dari situasi tersebut adalah munculnya
pemberontakan G30S/PKI yang sangat membahayakan keselamatan bangsa dan Negara.
Mengingat
keadaan makin membahayakan Ir. Soekarno selaku presiden RI memberikan perintah
kepada Letjen Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret 1969 (Supersemar) untuk
mengambil segala tindakan yang diperlukan bagi terjaminnya keamanaan,
ketertiban dan ketenangan serta kesetabilan jalannya pemerintah. Lahirnya
Supersemar tersebut dianggap sebagai awal masa Orde Baru.
D. Pancasila
Era Orde Baru
Ir. Soekarno tidak lagi menjabat sebagai presiden,
selanjutnya Jenderal Soeharto yang memegang kendali terhadap negeri ini. Dengan
berpindahnya kursi kepresidenan tersebut, arah pemahaman terhadap Pancasila pun
mulai diperbaiki. Pada peringatan hari lahir Pancasila, 1 Juni 1967 Presiden
Soeharto mengatakan, “Pancasila makin banyak mengalami ujian zaman dan makin
bulat tekad kita mempertahankan Pancasila”. Selain itu, Presiden Soeharto juga
mengatakan, “Pancasila sama sekali bukan sekedar semboyan untuk dikumandangkan,
Pancasila bukan dasar falsafah negara yang sekedar dikeramat-kan dalam naskah
UUD, melainkan Pancasila harus diamalkan (Setiardja, 1994: 5).
Pancasila dijadikan
sebagai political force di samping sebagai kekuatan ritual. Begitu
kuatnya Pancasila digunakan sebagai dasar negara, maka pada 1 Juni 1968
Presiden Soeharto mengatakan bahwa Pancasila sebagai pegangan hidup bangsa akan
membuat bangsa Indonesia tidak loyo, bahkan jika ada pihak-pihak
tertentu mau mengganti, merubah Pancasila dan menyimpang dari Pancasila pasti
digagalkan (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 42). Selanjutnya pada
tahun 1968 Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 12 tahun
1968 yang menjadi panduan dalam mengucapkan Pancasila sebagai dasar negara,
yaitu:
Satu :
Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa
Dua :
Kemanusiaan yang adil dan beradab
Tiga :
Persatuan Indonesia
Empat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawa-ratan/ perwakilan
Lima :
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Instruksi Presiden
tersebut mulai berlaku pada tanggal 13 April 1968. Pada tanggal 22 Maret 1978
dengan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) Pasal 4 menjelaskan,
“Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila merupakan penuntun dan pegangan
hidup dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara bagi setiap warga
negara Indonesia, setiap penyelenggara Negara serta setiap lembaga kenegaraan
dan lembaga kemasyarakatan, baik Pusat maupun di Daerah dan dilaksanakan secara
bulat dan utuh”.
Nilai dan
norma-norma yang terkandung dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(Ekaprasetya Pancakarsa) tersebut meliputi 36 butir, yaitu:
- Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
a. Percaya dan takwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab.
b. Hormat-menghormati dan bekerja
sama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda,
sehingga terbina kerukunan hidup.
c. Saling menghormati kebebasan
menjalankan ibadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
d. Tidak memaksakan suatu agama
dan kepercayaan kepada orang lain.
2. Sila Kemanusiaan yang adil dan
beradab
a. Mengakui persamaan derajat,
persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
b. Saling mencintai sesama
manusia.
c. Mengembangkan sikap tenggang
rasa dan teposeliro.
d. Tidak semena-mena terhadap
orang lain.
e. Menjunjung tinggi nilai
kemanusiaan.
f. Gemar melakukan kegiatan
kemanusiaan.
g. Berani membela kebenaran dan
keadilan.
h. Bangsa Indonesia merasa dirinya
sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat
menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.
3. Sila Persatuan Indonesia
a.
Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan
negara di atas kepentingan pribadi dan golongan.
b.
Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
c.
Cinta tanah air dan bangsa.
d.
Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia.
e.
Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka
Tunggal Ika.
4. Sila Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
a.
Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
b.
Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
c.
Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan
bersama.
d.
Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi olehsemangat kekeluargaan.
e.
Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil
keputusan musyawarah.
f.
Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang
luhur.
g.
Keputusan yang diambil harus dipertanggungjawabkan secara moral kepada
Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta
nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
5.
Sila Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia
a.
Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan
suasana
b.
Kekeluargaan dan kegotong-royongan.
c.
Bersikap adil
d.
Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
e.
Menghormati hak-hak orang lain.
f.
Suka memberi pertolongan kepada orang lain.
g.
Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain.
h.
Tidak bersifat boros.
i.
Tidak bergaya hidup mewah.
j.
Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.
k.
Suka bekerja keras.
l.
Menghargai hasil karya orang lain.
m. Bersama-sama mewujudkan
kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
Nilai-nilai Pancasila yang terdiri atas 36 butir tersebut, kemudian pada
tahun 1994 disarikan/dijabarkan kembali oleh BP-7 Pusat menjadi 45 butir P4.
Perbedaan yang dapat digambarkan yaitu: Sila Kesatu, menjadi 7 (tujuh) butir;
Sila Kedua, menjadi 10 (sepuluh) butir; Sila Ketiga, menjadi 7 (tujuh) butir;
Sila Keempat, menjadi 10 (sepuluh) butir; dan Sila Kelima, menjadi 11 (sebelas)
butir. Sumber hukum dan tata urutan peraturan perundangundangan di negara
Indonesia diatur dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Ketetapan ini
menegaskan, “Amanat penderitaan rakyat hanya dapat diberikan dengan pengamalan
Pancasila secara paripurna dalam segala segi kehidupan kenegaraan dan
kemasyarakatan dan dengan pelaksanaan secara murni dan konsekuen jiwa serta
ketentuan-ketentuan UUD 1945, untuk menegakkan Republik Indonesia sebagai suatu
negara hukum yang konstitusionil sebagaimana yang dinyatakan dalam pembukaan
UUS 1945” (Ali, 2009: 37). Ketika itu, sebagian golongan Islam menolak reinforcing
oleh pemerintah dengan menyatakan bahwa pemerintah akan mengagamakan
Pancasila. Kemarahan Pemerintah tidak dapat dibendung sehingga Presiden
Soeharto bicara keras pada Rapim ABRI di Pekanbaru 27
Maret 1980. Intinya Orba tidak akan mengubah Pancasila dan UUD 1945,
malahan diperkuat sebagai comparatist ideology. Jelas sekali bagaimana
pemerintah Orde Baru merasa perlu membentengi Pancasila dan TAP itu meski
dengan gaya militer. Tak seorang pun warga negara berani keluar dari Pancasila
(Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 43). Selanjutnya pada bulan Agustus
1982 Pemerintahan Orde Baru menjalankan “Azas Tunggal” yaitu pengakuan terhadap
Pancasila sebagai Azas Tunggal, bahwa setiap partai politik harus mengakui
posisi Pancasila sebagai pemersatu bangsa (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.),
2010: 43-44). Dengan semakin terbukanya informasi dunia, pada akhirnya pengaruh
luar masuk Indonesia pada akhir 1990-an yang secara tidak langsung mengancam
aplikasi Pancasila yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Demikian pula
demokrasi semakin santer mengkritik praktek pemerintah Orde Baru yang tidak
transparan dan otoriter, represif, korup dan manipulasi politik yang sekaligus
mengkritik praktek Pancasila. Meski demikian kondisi ini bertahan sampai
dengan lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 (Pranoto dalam Dodo dan
Endah (ed), 2010: 45).
Asas Tunggal Pancasila
Pidato kenegaraan di depan
DPR-RI tanggal 16 Agustus 1982, Presiden Suharto mengemukakan gagasannya
mengenai penerapan asas tunggal Pancasila atas partai-partai politik.
Sesungguhnya gagasan ini bukan gagasan baru karena tahun 1966-67 sudah
terdengar gagasan untuk mengasastunggalkan partai-partai politik. Namun,
tampaknya keadaan belum memungkinkan. Tujuan menyeragamkan asas partai-partai
politik adalah untuk mengurangi seminimal mungkin potensi konflik idiologis
yang terkandung dalam partai-partai politik. Berbeda dengan gagasan Bung Karno
dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, bahwa Sukarno mengharapkan agar Pancasila
dijadikan dasar filosofis negara Indonesia, tiap golongan hendaknya menerima
anjuran filosofis ini dengan catatan bahwa tiap golongan berhak memperjuangkan
aspirasinya masing-masing dalam mengisi kemerdekaan (Tim. LIP FISIP-UI. 1998.
39-40). Pola seperti ini masih terlihat dalam UU No.3/1975 tentang Partai
Politik dan Golongan Karya, dengan tidak adanya keharusan mencantumkan
Pancasila sebagai satu-satunya asas. Namun dengan adanya pidato Presiden
Suharto tersebut ada dorongan dengan menjadikan Pancasila sebagai
satu-satunya asas. Hal ini berarti pencantuman asas lain yang sesuai dengan
aspirasi, ciri khas dan karakteristik partai politik tidak diperkenalkan lagi.
Akhirnya keinginan
Presiden Suharto itu terpenuhi dengan merubah UU No.3/1975 dengan UU No.3/1985.
Dalam penjelasan undang-undang itu disebutkan bahwa pengertian asas meliputi
juga pengertian “dasar”, “landasan”. “pedoman pokok”, yang harus dicantumkan
dalam anggaran dasar partai politik. Perbedaan partai hanya dalam bentuk
program saja. Asas tunggal Pancasila menurut Deliar Noer berarti mengingkari
kebhinnekaan masyarakat yang memang berkembang menurut keyakinan
masing-masing. Keyakinan ini biasanya berumber dari agama atau dari fahaman
lain. Bahkan asas tunggal Pancasula cenderung kearah sistem partai
tunggal, meskipun secara formal ada tiga partai, tetapi secara terselubung
sebenarnya hanya ada satu partai.
E.
Pancasila Era Reformasi
Pancasila yang seharusnya sebagai nilai, dasar moral etik bagi negara dan
aparat pelaksana Negara, dalam kenyataannya digunakan sebagai alat legitimasi
politik. Puncak dari keadaan tersebut ditandai dengan hancurnya ekonomi
nasional, maka timbullah berbagai gerakan masyarakat yang dipelopori oleh
mahasiswa, cendekiawan dan masyarakat sebagai gerakan moral politik yang
menuntut adanya “reformasi” di segala bidang politik, ekonomi dan hukum
(Kaelan, 2000: 245).
Orde Baru tumbang, muncul fobia terhadap Pancasila. Dasar Negara itu untuk
sementara waktu seolah dilupakan karena hampir selalu identik dengan rezim Orde
Baru. Dasar negara itu berubah menjadi ideologi tunggal dan satu-satunya sumber
nilai serta kebenaran. Negara menjadi maha tahu mana yang benar dan mana yang
salah. Nilai-nilai itu selalu ditanam ke benak masyarakat melalui indoktrinasi
(Ali, 2009: 50). Dengan seolah-olah “dikesampingkannya” Pancasila pada Era
Reformasi ini, pada awalnya memang tidak nampak suatu dampak negatif yang
berarti, namun semakin hari dampaknya makin terasa dan berdampak sangat fatal
terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Dalam kehidupan sosial,
masyarakat kehilangan kendali atas dirinya, akibatnya terjadi konflik-konflik
horisontal dan vertikal secara masif dan pada akhirnya melemahkan sendi-sendi
persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia. Dalam bidang budaya,
kesadaran masyarakat atas keluhuran budaya bangsa Indonesia mulai luntur, yang
pada akhirnya terjadi disorientasi kepribadian bangsa yang diikuti dengan
rusaknya moral generasi muda.
Bidang ekonomi, terjadi ketimpangan-ketimpangan di berbagai sektor
diperparah lagi dengan cengkeraman modal asing dalam perekonomian Indonesia.
Dalam bidang politik, terjadi disorientasi politik kebangsaan, seluruh
aktivitas politik seolah-olah hanya tertuju pada kepentingan kelompok dan
golongan. Lebih dari itu, aktivitas politik hanya sekedar merupakan libido
dominandi atas hasrat untuk berkuasa, bukannya sebagai suatu aktivitas
memperjuangkan kepentingan nasional yang pada akhirnya menimbulkan carut marut
kehidupan bernegara seperti dewasa ini (Hidayat, 2012).
Kesepakatan Pancasila menjadi dasar Negara Republik Indonesia secara
normatif, tercantum dalam ketetapan MPR. Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998
Pasal 1 menyebutkan bahwa “Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD
1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus
dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara” (MD, 2011). Ketetapan
ini terus dipertahankan, meskipun ketika itu Indonesia akan menghadapi
Amandeman Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945.
Kesepakatan Pancasila sebagai dasar negara, Pancasila pun menjadi sumber
hukum yang ditetapkan dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 Pasal 1 Ayat (3)
yang menyebutkan, “Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana
yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia,
dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945”.
Sekretariat Wapres Republik
Indonesia, pada tahun 2008/2009 secara intensif melakukan diskusi-diskusi untuk
merevitalisasi sosialisasi nilai-nilai Pancasila. Tahun 2009 Dirjen Dikti, juga
membentuk Tim Pengkajian Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi. Sementara
itu, beberapa perguruan tinggi telah menyelenggarakan kegiatan sejenis, yaitu
antara lain: Kongres Pancasila di Universitas Gadjah Mada, Simposium Nasional
Pancasila dan Wawasan Kebangsaan di Universitas Pendidikan Indonesia, dan
Kongres Pancasila di Universitas Udayana. Lebih dari itu MPR-RI melakukan
kegiatan sosialisasi nilai-nilai Pancasila yang dikenal dengan sebutan “Empat
Pilar Kebangsaan”, yang terdiri dari: Pancasila, Undang-Undang Dasar tahun
1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika. Akan tetapi,
istilah “Empat Pilar Kebangsaan” ini menurut Kaelan (2012: 249-252) mengandung;
1) linguisticmistake (kesalahan linguistik) atau dapat pula dikatakan
kesalahan terminologi; 2) ungkapan tersebut tidak mengacu pada realitas empiris
sebagaimana terkandung dalam ungkapan bahasa, melainkan mengacu pada suatu
pengertian atau ide, ‘berbangsa dan bernegara’ itu dianalogikan bangunan besar
(gedung yang besar); 3)
Kesalahan kategori (category mistake), karena secara epistemologis
kategori pengetahuan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika bukanlah merupakan kategori yang
sama. Ketidaksamaan itu berkaitan dengan realitas atau hakikat pengetahuannya,
wujud pengetahuan, kebenaran pengetahuannya serta koherensi pengetahuannya.
Selain TAP MPR dan berbagai aktivitas untuk mensosialisasikan kembali Pancasila
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Secara tegas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan dalam penjelasan Pasal 2 bahwa:
Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah
sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi
negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan
Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila. Hal tersebut berkorelasi bahwa Undang-Undang ini
penekanannya pada kedudukan Pancasila sebagai dasar negara. Sudah barang tentu
hal tersebut tidak cukup. Pancasila dalam kedudukannya sebagai pandangan hidup
bangsa perlu dihayati dan diamalkan oleh seluruh komponen bangsa. Kesadaran ini
mulai tumbuh kembali, sehingga cukup banyak lembaga pemerintah di pusat yang
melakukan kegiatan pengkajian sosialisasi nilai-nilai Pancasila. Salah satu
kebijakan nasional yang sejalan dengan semangat melestarikan Pancasila di
kalangan mahasiswa adalah Pasal 35 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi yang menyatakan bahwa Kurikulum Pendidikan Tinggi wajib
memuat mata kuliah Agama, Pancasila, Kewarganegaraan dan Bahasa Indonesia.
Makna penting dari kajian historis Pancasila ini ialah untuk menjaga
eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu seluruh komponen
bangsa harus secara imperatif kategoris menghayati dan melaksanakan Pancasila
baik sebagai Dasar Negara maupun sebagai. Pandangan Hidup Bangsa, dengan
berpedoman kepada nilai-nilai Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dan secara
konsisten menaati ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal UUD 1945.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pancasila
adalah lima nilai dasar luhur yang ada dan berkembang bersama dengan bangsa
Indonesia sejak dahulu. Sejarah merupakan deretan peristiwa yang saling
berhubungan. Peristiwa-peristiwa masa lampau yang berhubungan dengan kejadian
masa sekarang dan semuanya bermuara pada masa yang akan datang. Hal ini berarti
bahwa semua aktivitas manusia pada masa lampau berkaitan dengan kehidupan masa
sekarang untuk mewujudkan masa depan yang berbeda dengan masa yang sebelumnya.
Sejarah perjuangan bangsa Indonesia berlalu dengan melewati suatu proses waktu
yang sangat panjang. Dalam proses waktu yang panjang itu dapat dicatat
kejadian-kejadian penting yang merupakan tonggak sejarah perjuangan.
Dasar
Negara merupakan alas atau fundamen yang menjadi pijakan dan mampu memberikan
kekuatan kepada berdirinya sebuah Negara. Negara Indonesia dibangun juga
berdasarkan pada suatu landasan atau pijakan yaitu pancasila. Pancasila, dalam
fungsinya sebagai dasar Negara, merupakan sumber kaidah hukum yang mengatur
Negara Replubik Indonesia, termasuk di dalamnya seluruh unsur-unsurnya yakni
pemerintah, wilayah, dan rakyat. Pancasila dalam kedudukannya seperti inilah
yang merupakan dasar pijakan penyelenggaraan Negara dan seluruh kehidupan
Negara Replubik Indonesia.
B. Saran-saran
Pancasila merupakan kepribadian bangsa Indonesia yang mana
setiap warga negara Indonesia harus menjunjung tinggi dan mengamalkan
sila-sila dari Pancasila tersebut dengan setulus hati dan penuh rasa tanggung
jawab. Agar pancasila tidak terbatas pada coretan tinta belaka tanpa makna.
DAFTAR
PUSTAKA
Kennenh R. Hall, 1989, Dalam
Suwarno, sejarah Birokrasi Pemerintahan Indonesia Dahulu Dan Sekarang, Penerbit
UAJ, Yogyakarta.
Kaelan, 2014, Pendidikan
Pancasila, Penerbit Paradigma, Yogyakarta.
Ismaun, 1975, Problematika Pancasila Sebagai Kepribadian Bangsa
Indonesia CV. Yulianti, Bandung.
Toyyibin Aziz,
M, 1997, Pendidikan Pancasila, Rineka Cipta, Jakarta.
Yamin
Muhammad, 1982, Proklamasi dan KonstitusiRepublik Indonesia, Ghalia
Indonesia, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar